by : Hariyadi Sutiyo
Libur panjang telah tiba, sebuah peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu oleh kebanyakan anak sekolah, setelah pembagian raport ada waktu untuk libur dan tidak harus pagi-pagi buta mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah, saatnya santai untuk mengisi hari-hari bersama keluarga, mungkin ada yang berencana liburan di tempat saudara, atau di tempat nenek yang cukup jauh, ada pula yang mengisinya dengan berbagai kegiatan seperti kemah bersama, atau mungkin ada yang berencana untuk keluar kota sekedar refreshing untuk menghilangkan kepenatan dan rutinitas yang selama ini dijalaninya.
Siang itu rombongan remaja berkumpul di depan gereja, mereka adalah perwakilan dari gereja tempat Septi tinggal, kira-kira 15 orang laki-laki dan perempuan yang siap untuk menuju kawah condrodimuko, siap digodok sebagai muda-mudi katholik yang handal. Stevanus Kurdi siap mendampingi mereka untuk ikut kegiatan Porseni selama kurang lebih satu minggu di sebuah desa yang cukup jauh dari rumah Septi, untuk berkegiatan sembari mencari pengalaman bagaimana seharusnya hidup bersama membaur di masyarakat.
Porseni diartikan sebagai pekan olah raga dan seni, diadakan oleh Paroki yang bertujuan, memberi ruang gerak dan kancah bagi muda mudi Katholik dan sarana bertemunya para muda dan mudi di berbagai bidang kegiatan antara lain, olah raga, kemampuan pentas seni dan melatih para muda mudi untuk membantu masyarakat secara nyata sekaligus, menjadi ajang ketemu jodoh sesama muda-mudi yang seiman Katholik.
Sungguh sebuah kegiatan yang sarat makna karena dengan Porseni ini setiap Stasi harus mempersiapkan dengan matang siapa-siapa yang pantas mengikuti dan tidak mebuat malu mereka yang mengutus, ditambah lagi dengan Porseni ini juga merupakan acara unggulan yang tidak dimiliki oleh organisasi keagamaan lain. Karena, mengingat bahwa kaum nasrani merasa minoritas dan selalu timbul masalah terlebih dalam menemukan pasangan hidup, Jadi program ini sangat positif dan harus diadakan setiap tahun agar menjadi program primadona di paroki Kaligajah. Demikian sambutan pastor paroki ketika memberi penjelasan di sela-sela Misa seminggu sebelum pelaksanaan Porseni.
Beberapa minggu sebelum pelaksanaan Porseni, Stasi Sukaloyo tempat tinggal Septi mempersiapkan segalanya dengan baik, ada yang disiapkan untuk lomba catur, ada yang disiapkan untuk pertandingan volley, bulutangkis, lomba baca kitab suci, lomba cerdas cermat Kitab Suci, lomba mazmur dan lomba vokal group yang memang dipertandingkan dan diperlombakan dalam acara Porseni. Septi tidak pernah lalai mengikuti dari semua kegiatan ini, mengingat dia termasuk salah satu muda-mudi Katholik yang sangat rajin mengikuti kegiatan Gerejawi ditambah lagi bahwa kedua orang tuanya termasuk tokoh penting dalam kehidupan Gerjawi, maka pantas kalau Septi juga diikutsertakan dalam setiap kegiatan Porseni.
Dengan menumpang mobil bak terbuka serombongan dari Stasi tempat Septi tinggal berangkat menuju tempat diselenggarakan Porseni, mereka riang gembira Karena dengan kegiatan ini merupakan kegiatan pengisi liburan yang murah, namun menghasilkan banyak hal antara lain dapat menunjukkan preStasi yang dimiliki kepada Stasi lain, kegiatan ini mendapat dukungan penuh oleh setiap orang tua yang anaknya dilibatkan di dalamnya, yang jelas semuanya menyenangkan bagi mereka yang diutus, maka sepanjang perjalanan mereka menyanyi dan bercanda ria dengan gelak tertawa lepas.
Satu jam perjalanan sampailah mereka di tempat yang dituju, sebuah desa yang masih asri dan sepi, jauh dari keramaian dan masyarakatnya masih sederhana, namun penuh keramahan, rombongan diterima oleh panitia penyelenggara dan mereka dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk diikutkan dengan keluarga-keluarga Katholik yang ada di desa tersebut. Septi mendapatkan sebuah keluarga yang sederhana, Bapak Paulus Ngatman namanya. Beliau mempunyai empat anak, dua diantara mereka sudah berkeluarga sedangkan dua orang anaknya masih lajang, kebetulan keduanya lak-laki, satu berumur 28 tahun sedangkan adiknya berumur 20 tahun.
Kedatangan Septi disambut dengan hangat oleh bapak Paulus Ngatman dan Ibu Bernadeta Ngatmi, mereka senang dengan kehadiran Septi di rumahnya, apalagi Septi adalah anak yang manis, walaupun kulitnya agak sawo matang tetapi bersih dan penampilan baik. Karena saat itu Septi kelas dua SPG yang memang masih menginjak masa remaja. Sementara pak Ngatman memiliki anak laki-laki yang cukup dewasa yang sampai saat ini belum menemukan jodoh, dalam hatinya siapa tahu Septi mau jadi menantu pak Ngatman yang sangat mengharapkan anak nomer tiga segera berkeluarga seperti saudara yang lainnya.
“Sugeng rawuh nak, wonten gubug kula, nuwun sewu dipun paringi asmo sinten nak”, kata pak Ngatman menyambut Septi yang sudah di depan pintu, “Kula Ngatman, lan punika ngatmi tiyang istri kula”. Septi menjawab “Nggih pak, kula Septi, lengkapipun Maria Magdalena Septianingrum cekap dipun timbali Septi kemawon”. Lalu “Nggih nak monggo lajeng pinarak mlebet kemawon.” Jawab beliau. Pak Ngatman mempersilahkan Septi untuk duduk di kursi tamu yang sederhana, terbuat dari bambu tetapi cukup artistik.
“Kangge bobok nak Septi mangkih sampun kula cawisaken senthong punika”, kata Pak Ngatman sambil menunjuk satu kamar kecil yang dekat dengan ruang tamu , “Nggih pak matur nuwun dados ngrepoti punika pak”, kata Septi berbasa-basi,
“ah mboten nak, kula remen kok nak, lan kula ugi anjurung program paroki ingkang sampun karencanaaken dening penjenenganipun romo, lan miturut kawula punika sanget positif kanggenipun warga Katholik wonten paroki Kaligajah punika”, kata pak Ngatman menerangkan kepada Septi,
“Oh nggih punika anak kula,si Bernadus Wagiman kaliyan punika Thomas Aquino sunardi”, sambung pak Ngatman sambil menunjuk dan memperkenalkan kedua anaknya kepada Septi , lalu mereka berjabat tangan dengan Septi. Kula Septi mas, nggih kula Bernadus Wagiman, katanya namun Septi agak kaget melihat orangnya besar dan gagah tapi suaranya kecil seperti seorang wanita, sedangkan Thomas juga berjabat tangan tetapi tidak bicara sepatah katapun, Thomas sunardi sedikit menunjukkan rasa tidak senang atas kehadiran Septi di rumahnya, maklum anak ini masih usia remaja yang mungkin sedikit merasa tergaggu atas kehadiran Septi, kalau dalam bahasa jawa semengit, walaupun Sunardi seusia dengan Septi namun karena tidak bersekolah barangkali sikap ini yang ia tunjukkan di depan Septi, dan Septi pun maklum.
Malam pertama Septi menginap di rumah pak Ngatman, sore hari ketika mereka makan bersama keluarga itu dengan nasi dan lauk sederhana, sayur daun singkong, tempe goreng dan sambal terasi terasa nikmat bagi mereka, kehadiran Septi sungguh memberi inspirasi bagi IIbu Ngatmi yang dengan diam-diam memberikan perhatian lebih kepada Septi dengan berharap siapa tahu ini gadisYang dikirim malaikat untuk menjadi calon menantu idaman, untuk salah satu dari anaknya wagiman atau sunardi, memang Septi masih kelas dua SPG namun dilihat dari penampilannya sudah cukup dewasa dan keibuan, sehingga Ibu Ngatmi sering mencuri-curi pandang ketika berbicara kepada Septi.
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 11.00 malam, Septi belum bisa tidur, hal ini disebabkan oleh tempat yang baru, dan suasana yang sedikit berbeda dengan situasi di rumah, bukan karena lantaran kamar yang dipakai tidur, melainkan ada perasaan yang mengganggu.
Selintas tadi sore Ibu Bernadeta Ngatmi sempat bertanya kepada Septi perihal pribadinya. “Nak Septi sekolah wonten pundi lan kelas pinten?” Katanya, “wonten SPG bu, kelas kalih, wonten punapa bu?”, Jawab Septi. “ah mboten punapa-punapa nak, namung nyuwun pirsa, anu lho nak kula punika pengin sanget gadhah anak mantu ingkang kados nak Septi punika, wis piyantune pinter, manis, calon guru lan wis pokoke ibu cocok menawi nak Septi kersa dados anak mantu kula”. Kata-kata bu bernadeta ngatmi justru membuat penasaran bagi Septi, ada pikiran yang melintas, apa mungkin aku mau dipertemukan dengan salah satu dari anak mereka, entah Bernadus Wagiman atau Thomas Sunardi, Septi terus merajut, pikirannya menerawang, dalam hatinya membandingkan keduanya walau baru saja berkenalan sore itu, yah meskipun Bernadus Wagiman orangnya sudah cukup dewasa, pasti rasa tanggung jawabnya besar dan sungguh-sungguh, wajahnya cukup menarik, namun suaranya kecil seperti wanita. ah tidak, “aku kurang suka”, gumamnya. Sementara Thomas sunardi, umurnya tidak terlalu jauh dengan Septi, tapi sifatnya sedikit tertutup dan kurang ramah walaupun secara wajah cukup tampan, keduanya bukan tipe yang diinginkan Septi, pikiran itu terus melintas di kepalanya, sehingga sulit untuk memejamkan matanya, tapi lama-lama terlelap juga karena capek dan terbawa dalam mimpi, barulah Septi kaget karena pintu kamar diketok oleh Ibu Ngatmi.
“ Nak Septi sampun siang”, tegur ibu. Dengan sedikit malas akhirnya Septipun bangun dan segera menuju ke kamar mandi, karena jadwal yang disusun panitia pagi itu adalah Misa pembukaan di gereja
Septi sudah sampai di gereja, ia bertemu dengan rombongan yang berasal dari Stasinya, sebelum Misa dimulai sekilas mereka saling bercerita singkat tentang tuan rumah tempat mereka menginap, tak ketinggalan Septi juga bercerita tentang keluarga paulus Ngatman dan pengalaman Septi semalam tidak bisa tidur, pembicaraan mereka terhenti karena Misa pembukaan akan segera dimulai.
Misa pembukaan kegiatan Porseni dipimpin oleh romo Antonius sujatmiko, di sela-sela khotbahnya romo mengatakan bahwa kegiatan Porseni kali ini bertema “melalui Porseni kita tingkatkan partisipasi dan prestasi muda-mudi Katholik“. Dengan tema yang cukup sederhana diharapkan muncul preStasi diantara para muda mudi katholik, dan dengan seloroh romo sampaikan, para adik-adik remaja yang terkasih dalam tuhan dengan kegiatan yang positip ini siapa tahu diantara kalian dapat bertemu jodoh yang seiman, sarananya mudah, murah namun berkah, nah ini yang kita harapkan bersama, demikian khotbah romo yang disambut dengan tepuk tangan dan tertawa seluruh umat, tak terkecuali Septi yang duduk di bangku deretan tengah.
Selesai Misa panitia mengumumkan kepada seluruh umat terlebih para peserta Porseni, bahwa para peserta Porseni sudah disediakan sarapan pagi di aula yang terletak di belakang gereja, maka ramailah seluruh peserta Porseni menuju ke belakang gereja untuk mengambil sarapan.
Tempat yang tidak terlalu luas untuk menampung seluruh peserta yang memang berjumlah ratusan dan rasa lapar yang mereka rasakan menjadikan suasana hiruk pikuk dan saling berdesakan, nah di saat inilah Septi bertabrakan dengan seorang anak laki-laki yang berperawakan tinggi agak kerempeng dan berkulit sawo matang, hingga Septi hampir terjatuh, maka lelaki itu itu langsung minta maaf kepada Septi dan sambil berjabat tangan ia memperkenalkan diri kepada Septi.
“ Maaf ya dik aku tidak sengaja, perkenalkan namaku Heribertus Sutanto atau Heri saja, asalku dari paroki induk, aku bersekolah di SMA fransiskus, adik siapa dan dari mana?”, “Aku Septi mas, Maria Magdalena Septi, terserah mas Heri mau panggil apa, aku berasal dari Stasi Sukaloyo, aku sekolah di SPG boromeus kelas dua”, Demikian kata Septi sambil menerima jabat tangan Heribertus.
Saat berjabat tangan itulah ada getar-getar yang aneh muncul dalam hati Septi maupun Heri, mereka akhirnya makan bersama sambil ngobrol ngalor ngidul mengenai banyak hal, tentang sekolah, tentang kegiatan muda-mudi dan tentang keluarga.
“Berarti Septi kenal dong sama Neti yang juga sekolah di SPG Boromeus?”, Kata Heri di sela-sela makan. “Tidak hanya kenal lagi mas, aku satu kelas dengannya, memang dia pernah cerita kalau rumahnya Kalimancur, tapi sampai sekarang aku belum pernah ke rumahnya”. Jawabnya. “Iya, Neti itu rumahnya tidak jauh dari rumahku, kapan-kapan Septi tak ajak ke rumah Neti yang dekat dengan rumahku, Septi mau?”, Kata Heri. “Iya mas, kapan-kapan”, tukasnya.
Pembicaraan mereka terhenti karena ada pengumuman dari panitia bahwa jadwal lomba sudah ditempel di papan pengumuman gereja, penitia mengingatkan agar para peserta tidak lupa mencatatnya supaya seluruh tangkai lomba dapat diikuti oleh seluruh peserta tanpa terlewatkan.
“Yuk Maria, kita lihat jadwalnya”, ajak Heri kepada Septi. “Oke mas kita lihat bersama”, Septi. Sampai di depan papan pengumuman ternyata banyak peserta yang lain yang ingin melihat jadwal, mereka saling berdesakan, melihat situasi itu maka Heri pun berinisiatif untuk melihat jadwal lomba untuk Stasi sukaloyo tempat Septi, dia bertanya pada Septi, Maria, kamu ikut lomba apa, anu mas bulu tangkis, sama lomba kitab suci, oh untuk bulu tangkis hari ini jam 15.00 WIB dan untuk lomba kitab suci jam 11.00 WIB, berarti maria pinter main bulu tangkis dong puji Heri pada Septi, yah sedikit mas kebetulan di rumahku itu halamannya ada lapangan bulutangkis, dan aku sering main bulu tangkis walaupun belum pernah juara, kalau orang tuaku dan saudara-saudaraku memang pemain bulu tangkis dan sering jadi juara, kalau aku hanya sekedar bisa dan senang main saja, kapan-kapan tanding sama aku ya maria, sebab aku juga senang olah raga ini, berarti kita punya kesamaan hoby, goda Heri pada Septi, boleh mas aku siap bertanding sama mas Heri, tapi mas Heri harus ngalah lho, khan aku perempuan dan pasti kalah, jangan khawatir maria kalau aku nyemespun pakai smes cinta kasih lho, drop shot sayang dan lop kalbu, kata Heri sambil tertawa, wah mas Heri ada-ada saja, Septi merasa geli mendengarnya, oke sekarang begini, kita sudah kenalan, dan nanti aku akan selalu mendukungmu di setiap lombamu, sekarang aku mau ke kelompokku dulu kata Heri kepada Septi, oke mas sampai ketemu lagi nanti. Heripun meninggalkan Septi, dan Septi bergabung dengan kelompoknya untuk mempersiapkan lomba.
Stevanus Kurdi koordinator kelompok Septi, mengumpulkan rombongannya untuk mengatur strategi sebelum lomba dilaksanakan, dan mereka yakin kalau mereka bakal menang di setiap tangkai lomba yang diadakan oleh panitia, ia memberikan semangat kepada seluruh peserta dari sukaloyo.
Perlombaan kuis kitab suci dilaksanakan di dalam gereja, saat itu yang tampil babak penyisihan ada 15 regu dari 15 Stasi, tak ketinggalan pula regu yang dipimpin Septi dari Stasi sukaloyo, dalam lomba yang dilaksanakan, satu persatu gurur di babak penyisihan, tinggal 3 regu finalis yang berlomba yaitu regu dari Stasi sukaloyo, kalimancur tempat Heribertus sutanto dan sendang pamungkas. Semua penonton tertuju pada tiga regu yang berlomba, stevanus kurdi memberi semangat pada kelompok sukaloyo, Heribertus yang berada di tempat itu memberi semangat kepada Stasi kalimancur dan kelompok sendang pamungkaspun tak mau ketinggalan, sorak sorai masing-masing memberi dukungan, ketika babak terakhir, ketiga kelompok mengumpulkan pont yang sama, berarti tinggal satu kemungkinan yang dimiliki oleh masing-masing regu untuk memenangkan perlombaan, maka para pemberi soal mengingatkan kepada masing-masing regu agar berhati-hati dalam menjawab pertanyaan rebutan, karena kalau salah nilai akan dikurangi seratus. maka teganglah seluruh regu dan pendukung masing-masing regu.
Pertanyaan terakhir babak rebutan yang disampaikan oleh pemberi soal adalah, siapakan yang menyelamatkan orang yang dirampok ketika dalam perjalanan dari yeriko, belum selesai pertanyaan yang diberikan, saat itu juga Septi langsung menjawab, orang samaria yang dianggapnya sebagai musuh, yak betul kata pemberi soal, seketika itu pula seluruh yang ada bersorak memberi semangat kepada regu Septi yang memenangkan babak rebutan, maka akhirnya regu dari Stasi sukaloyo dinyatakan sebagai pemenangnya, regu dari Stasi kalimancur sebagai juara dua dan Stasi sendang pamungkas sebagai juara ketiga.
Sebagai cowok sportif Heribertus kemudian mendekati Maria Magdalena Septiningrum untuk memberikan selamat, maria, selamat ya kamu memang pantas sebagai pemenang, tak sia-sia kamu berjuang untuk Stasimu, sekali lagi selamat, jabat tangan Heribertus kepada MM Septiningrum, kembali perhatian Heri kepada Septi terasa hangat menusuk kalbu dan getar-getar itupun samakin keras, Septi hanya berucap, makasih ya mas, ini hanya kebetulan saja kata Septi merendah, nggak ini pantas untuk regumu karena memang kalian jempol kata Heri sambil mengacungkan ibu jarinya di depan Septi, Septi merasa tersanjung, dalam hatinya, dari sekian banyak peserta Heribertus sangat menonjol di mata Septi.
Perlombaan dan pertandingan terus berganti dari waktu ke waktu, dimulai dari kuis kitab suci, lomba baca kitab suci, lomba vocal group, badminton, volley, sepak bola dan sebagainya, tak terasa sudah satu minggu Septi berada di lingkungan yang baru, namun hatinya gembira karena di tempat ini ia menemukan cowok yang sangat memperhatikannya, Heribertus sutanto namanya, ia seorang pelajar kelas III SMA Fransiskus, sebenarnya sekolah Heri dan Septi saling berdekatan, namun karena mereka berbeda sekolah maka tidak saling mengenal, dalam acara Porseni inilah maka mereka sekarang saling kenal dan bahkan semakin dekat diantara mereka, maka ketika hari penutupan Porseni saat itu tiba, sebelum perpisahan, Heribertus menyempatkan diri untuk menemui Septi dan berjanji akan main kerumahnya suatu saat, maria, kita sekarang berpisah, bukan untuk selamanya melainkan ini awal pertemuan kita, aku ingin kamu tidak menolakku ketika aku main kerumahmu oke Septi, tunggu aku pasti kerumahmu, oke mas aku tunggu jangan bohong lho ya, aku tunggu, kata Septi sedikit centil. Oke…. Kata Heri selanjutnya dan mereka berjabat tangan dan berpisah.
Sekitar jam 17.00 rombongan Septi sampai di Stasi sukoloyo, mereka gembira dan fresh, karena berhasil mewakili Stasi sukaloyo memenangkan beberapa tangkai lomba, mereka membawa beberapa piala yang akan diserahkan kepada pihak gereja yang telah mengutusnya. Walaupun rata-rata mereka secara fisik kelihatan capek, namun rasa capek itu segera hilang karena perjuangannya tidak sia-sia dalam menjalankan kepercyaan Stasi kepada mereka semua. Bagi Septi semuanya tidak terlalu penting, karena justru ia berhasil membawa piala yang lebih berharga yaitu hati Heribertus sutanto yang sekarang bersemayam di hatinya.
Sesampai di rumah Septi di tanya oleh kedua orang tuanya dan adik-adiknya perihal Porseni yang baru saja ia jalani, piye nduk kowe sehat to, tanya bapak kepada Septi, sehat pak, nggak pernah sakit selama disana, aku seneng karena ketemu banyak kawan dan saudara seiman terang Septi kepada orang tua dan adik-adiknya, dapat cowok nggak mbak, tanya adik Septi, hus wong ini Porseni kok, dapat cowok piye to sergah ibu Septi yang juga berada bersama -sama di situ, yah barangkali to bu kata adik Septi kepada ibunya, sambil menyelam minum air, siapa tahu dapat cowok idaman kata adik Septi menggoda kakaknya, Septi hanya senyum-senyum, karena tebakan adiknya sungguh tidak meleset, namun Septi hanya diam dan tidak menjawab, ya sudah sekarang mandi, makan sore dan tidur istirahat, liburan khan masih panjang, kata ibu Septi menyuruh Septi segera mandi.
Sore itu seluruh keluarga berkumpul di meja makan, sajian sederhana yang dibuat oleh ibu, sayur opor ayam yang menggiurkan, semua anggota keluarga Menikmatinya, dan setelah semua kenyang mereka berpindah ke ruang keluarga untuk berbagi cerita, namun Septi hanya bertahan setengah jam, iapun segera pamit untuk tidur duluan, pak, bu aku nggak tahan ngantuk banget, aku mau tidur duluan, ya sudah sana jangan lupa berdoa dulu, kata mereka, sungguh sebuah pembiasaan yang begitu ketat bagi keluarga Septi yang memang katholik tulen.
Pagi hari Septi bangun kesiangan, namun oleh orang tuanya dibiarkannya karena mereka tahu bahwa Septi masih capek, maka ketika matahari sepenggalah, Septi bangun sendiri, rasanya seluruh badan capek dan pegel, mungkin karena kemarin ketika ikut pertandingan badminton ia forsir seluruh tenaganya untuk mengalahkan lawan namun ternyata tetap kalah dari seorang ibu-ibu dari Stasi kalimancur tempat beribertus sutanto tinggal, sekalipun saat itu Heri justru memberikan semangat kepada Septi namun apa daya kalah pengalaman dan kalah mental, maka ketika ibu dari Stasi kalimancur menang atas Septi, justru Septi yang digendhong berkeliling lapangan oleh ibu tersebut, kali ini support dari Heri kepada Septi tidak berbuah karena keaadaan, kembali Septi menggeliat dan akhirnya bangun dan menuju kamar mandi untuk mandi, karena dilihatnya seluruh keluarga sudah mandi dan baru saja sarapan. Bu, Septi apa nggak dibangunin, kata bapak kepada ibunya Septi, nggak pak biarkan saja pasti masih capek setelah selama seminggu berada di lingkungan yang sama sekali baru. Ya sudah kata bapak, maka setelah mandi, Septi segera menuju ke meja makan, karena ibu sudah menyediakan sarapan pagi dengan menu nasi goreng dengan telor dadar yang nikmat, Septipun sarapan dengan lahapnya, memang ketika di sendang pamungkas Septi pernah makan nasi goreng yang dibuatkan oleh Ibu Bernadeta Ngatmi, namun rasanya tidak seenak nasi goreng buatan ibunya, yang memang pinter masak.
Satu minggu setelah Septi pulang dari kegiatan Porseni, sore itu malam minggu saat Septi duduk-duduk di teras rumah bersama kedua orang tuanya dan adik-adiknya, tiba-tiba ada sebuah motor masuk ke halaman rumah Septi, mereka tidak mengetahui siapa yang datang karena memang memakai jaket kulit dan memakai helm fullface, semua yang duduk terdiam karena penasaran, namun Septi tenang saja karena bila dilihat dari postur tubuhnya ia hafal ini seorang pemuda yang dikenalnya dua minggu yang lalu di acara Porseni, siapa lagi kalau bukan Heribertus sutanto yang tetap membayangi angannya.
Kula nuwun, pak, bu, kata cowok yang baru saja melepas jaket dan helm itu sambil berjalan menghampiri keluarga Septi dan berjabat tangan kepada mereka semua yang berada di teras rumah, monggo, monggo kata bapak Septi ramah, nuwun sewu, nak punika sinten, saking pundi lan badhe kepanggih sinten, anu pak kula Heribertus Sutanto, saking kalimancur, kula rencangipun Septi, lan nembe kepanggih kala wingi wonten acara Porseni, oh monggo nak Heri pinarak nglebet, inggih pak matur nuwun, jawab Heri, dan saat itu Septi langsung menerangkan siapa Heri sebenarnya, yang di kenalnya dua minggu lalu, bahwa Heri ini tetanggaan dengan Neti teman SPG Septi, oh, jawab bapak dan ibu Septi, monggo nak dipun sekecakaken, inggih, matur nuwun pak kata Heri menyambung kalimat bapak, kemudian bapak, ibu dan adik-adik Septi pindah ke ruang belakang untuk nonton TV.
Gimana kabarmu maria, setelah seminggu nggak ketemu, baik to, kata Heri membuka pembicaraan, baik mas, lah mas Heri sendiri gimana kabarnya, sehat, Cuma agak sakit makanya aku kesini cari obat, lho mas Heri sakit apa, kok nyari obatnya kesini kata Septi dengan kepolosannya, loh belum tahu to apa sakitku ini, belum mas, jangan naku-nakuti aku to, aku nanti khawatir, ini lho aku sakit rindu, alias kangen sama Septi maka aku kesini mencari obat itu dan sekarang mulai agak sembuh, oh kirain sakit beneran, gombal ah ngrayu ni ye, kata Septi manja, mereka berdua di ruang tamu, memang cahaya lampunya tidak terlalu terang namun justru menambah keromantisan dua insan yang saling dilanda rindu.
Mereka berdua ngobrol ngalor ngidul, yang kadang diselingi tertawa, tetapi kadang sepi seakan tanpa penghun, kemudia disela-sela kebisuan diantara keduanya, akhirnya Heri memberanikan bertanya kepada Septi, maria, maaf ya bukan aku lancang, namun ini sebenarnya sudah lama aku pendam sejak pertemuan kita di sendang pamungkas, waktu kita saling bertabrakan, apa Septi sudah punya pacar, maaf lho maria ini aku sungguh lancang, Septi menggeleng, belum mas, oh syukur deh kata Heri spontan, lho kenapa mas, nggak papa berarti aku punya kesempatan, yes…. tangan Heri mengepal sambil mengatakan yes, justru perilaku Heri saat itu lucu bagi Septi, begini maria, aku ingin kamu menjadi pacarku, mau nggak, kata Heri semakin berani, Septi tertunduk dan akhirnya mengiyakan, ya mas aku mau jadi pacar mas Heri tapi ada syaratnya, wah apa syaratnya, kata Heri penasaran, mudah kok mas, aku ingin mas hanya memiliki satu pacar saja, kalau aku ya aku, jangan ada selain aku, maaf mas aku tak mau diduakan, itu saja mas syaratnya. Oke no problem, tak masalah aku juga ingin Septi hanya punya satu pacar, ya aku, gimana, setuju, ya aku setuju, mereka saling memberikan jari kelingking untuk saling berjanji untuk saling setia satu sama lain, untuk selamanya, saat itu sudah jam 9 malam, maka Septipun memberikan isyarat kepada Heri untuk pulang karena sudah malam, maaf mas, sebenarnya aku senang selalu bersama mas, namun ini sudah malam, oh ya kalau begitu aku pamit dulu ya, jangan lupa janjimu dan aku akan selalu menepati janjiku, kata Heri sebelum pamit pulang. oke maria terima kasih aku sudah lega kini kita bisa pacaran kata Heri kepada Septi, Septi hanya mengangguk, sampaikan salamku untuk bapak dan ibu ya, terima kasih selamat malam maria, selamat tidur dan mimpi indah bersamaku. Ya mas hati-hati di jalan. dan Heripun pulang ke kalimancur.
Hati Septipun berbunga-bunga, sekarang sudah merasa lega, memang ia pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya kepada seorang sopir angkot, ia sangat percaya kepadanya, namun ternyata dikhianati olehnya, sakit hatinya belum juga hilang, maka dengan permintaan yang disampaikan kepada Heri sebagai persyaratan ia ungkapkan, ia tidak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya, ia berharap mas Heribertus sutanto adalah yang terakhir, maka harapan itu sungguh-sungguh ia pertaruhkan kepadanya.
Hari demi hari cinta Septi bertumbuh, ia sudah merasa menemukan cowok yang selama ini ia cari, ia bahagia karena pertemuan mereka sungguh diawali dari ketidaksengajaan, walaupun kadang muncul rasa kekhawatiran di hati Septi, karena kepercayaannya kepada cowok yang seratus persen ternyata berbuah penghianatan, ah kalau ingat masa yang lalu rasanya tak ingin ia jatuh cinta lagi, Septi takut peristiwa masa lalu terulang kembali, namun mendengar ucapan Heribertus yang belum terlalu lama di telinganya munculah kembali rasa percaya itu, mas Heri lain dari yang lain, mas Heri dengan penuh kesadaran menyanggupi permintaannya, pasti tak akan mengecewakannya.
Liburan sekolah sudah usai, kembali Septi disibukkan oleh rutinitas keseharian, bedanya semester ini ada perasaan yang berbeda, penuh semangat karena kini Septi telah memiliki pacar, kalau tahun lalu sempat kehilangan semangat karena patah hati, dikhianati cowok yang dipercayainya.namun sekarang berbeda ada yang diharapkan dari semua janji-janji Heribertus yang pernah ia dengarkan seminggu yang lalu ketika mereka jadian. Ketika sampai di sekolah, Septi ketemu dengan seluruh teman sekelasnya yang sempat tak bertemu beberapa minggu karena libur, mereka saling cerita pengalaman liburan sekolah yang diisi dengan berbagai kegiatan yang berbeda-beda.
Ketika Septi ketemu Neti teman sekelasnya spontan ia ingat akan Heribertus sutanto, maka dengan bersemangat Septi bertanya kepada Neti, net sebentar aku mau tanya sedikit sama kamu, tanya apaan sep, kembali Neti yang bertanya, yuk kita mojok sebentar, nggak enak bila didengar oleh kawan-kawan, ada apa sih serius amat kata Neti sambil mengikuti tarikan tangan Septi, setelah benar-benar berdua, Septi bertanya pada Neti, begini Neti, kemarin waktu liburan aku ikut kegiatan Porseni di sendang pamungkas, lalu apa hubungannya dengan aku sela Neti, sebentar to dengarkan dulu, ya sudah aku dengarkan kata Neti, itu lho, ketika ikut Porseni aku ketemu cowok keren, gantheng, tinggi, baik hati lagi jelas Septi kepada Neti, nah kata dia rumahnya deketan sama kamu, dan kenal baik sama kamu, namanya Heribertus sutanto, kamu tahu nggak net dengan cowok itu, hah….. siapa ….. kata Neti sedikit kaget, Heribertus sutanto, sambung Septi, kalau Heribertus sutanto bukan kenal lagi, tapi banget bahkan sangat dekat, maksudnya net, begini Septi yang manis, Heri adalah teman SMP ku jadi sudah kenal dari dulu, sejak di SMP aku sudah dekat, bahkan boleh dibilang pacaran, sampai saat ini hubunganku dengan Heri masih terus, hanya memang frekuensi pertemuanku dengannya tidak sesering dulu, memangnya kenapa sep, kamu naksir ya, kalau kamu naksir ya nanti saya sampaikan kepadanya, goda Neti kepada Septi, Septi hanya diam saja apa yang baru didengarnya justru membuat kuping panas, Septipun terdiam tak berkata sedikitpun, heh kok malah bengong….. sep kata Neti sedikit keras.
Septi kaget, mendengar kata Neti yang sedikit keras, heh kenapa kamu sep, naksir ya sama Heri, oh nggak, aku cuma tanya, karena kemarin dia bilang rumahnya dekat dengan rumahmu, jawab Septi sedikit grogi dan berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, ok net terima kasih ya informasinya, dalam hati Septi muncul pertanyaan, benarkah mas Heri punya hubungan khusus dengan Neti, memang sih kesalahannya adalah Septi tidak bertanya kepada Heribertus apakah dia punya pacar, Septi hanya mengiyakan apa yang di minta oleh Heri agar dia jadi pacarnya, ah aku terlalu tergesa-gesa dan terlalu cepat menjawab, dalam hatinya ada sedikit ketakutan yang menyelimuti, maka ketika pulang sekolah Septi tidak segembira ketika berangkat sekolah, ada kepedihan yang menyelinap direlung hatinya, galau dan ragu, satu-satu jalan mengatasi masalah yang dihadapinya maka Septi hanya diam.
Satu minggu sudah Septi masuk sekolah, satu minggu pula kalimat yang pernah Heri ucapkan berlalu sudah, saat malam minggu Septi berharap Heri akan datang kerumah untuk apel, maka dia persiapkan hatinya agar tidak kelihatan rasa kecewanya pada Heri yang dipercayainya ternyata masih berhubungan dengan cewek lain, seperti yang dikatakan Neti.
Benar apa yang diduga Septi, malem minggu Heri apel di rumahnya, sambutan Septi tidak seramah ketika Heri datang untuk pertama kali, kali ini agak canggung, dan sedikit nerves, dalam hati Septi terjadi pertempuran sengit antara rasa percaya dengan janji Heri minggu yang lalu, dengan apa yang pernah ia dengarkan dari Neti, situasi ini menjadikan Heri justru menyapa lebih dulu, maria kok malah bengong, kedatanganku mengganggumu ya, sori kalau mengganggu dan aku pulang saja, masak pacar datang malah disuguh wajah asam, ah senyum dong, jangan cemberut, begitu kata-kata Heri untuk mencairkan suasana. Nggak kok mas, aku senang mas Heri datang, kalau nggak senang aku khan nggak menemui mas, ayo mas duduk di ruang tamu saja, loh kok sepi kemana bapak dan ibu, anu mas bapak dan ibu pergi sembahyangan, aku dan adik-adik suruh nunggu rumah, dan tentu aku juga nunggu mas Heri, kata Septi sudah sedikit cair.
Mas mau minum apa, teh apa kopi, ah nggak usah repot-repot, air putih saja yang gampang, yang penting adalah maria bisa bersamaku malam ini, kata-kata Heri mulai merayu Septi. Oh ya tak ambilkan dulu ya mas, ok tak tunggu. Beberapa saat kemudian Septi membawa nampan berisi dua gelas air putih dan kueh lapis yang memang sengaja dibuat oleh ibu untuk persiapan arisan di rumahnya, ayo mas diminum dan dicoba kuehnya, ok terima kasih, aku semakin yakin sama kamu maria, bahwa kamu adalah wanita yang didambakan banyak laki-laki, selalu bisa membaca suasana dan perhatian, terima kasih ya, kata Heri sambil minum air putih dan mengambil satu kueh lapis dan memakannya, Wah enak banget manis, semanis yang menyuguhkan, kata Heri mula nggombal, mas bisa aja, bener ini nggak main-main, sangat manis dan aku nggak perlu kuwatir kalau kurang manis, cukup memandang maria saja semuanya jadi lebih manis, kata Heri menggoda, ah mas… aku jadi tersanjung.
Setelah berbasa-basi dan suasana mulai hangat maka Septi memberanikan diri untuk bertanya kepada Heri, mas, aku mau tanya sesuatu tetapi jangan marah dan aku ingin jawaban mas adalah jawaban jujur, ada apa sih kok serius banget, sambung Heri, gini mas, seminggu yang lalu mas bilang, untuk memintaku menjadi pacar mas, masih ingat khan, oh masih dong…. Lalu, sahut Heri, seminggu ini aku galau, maka aku ingin mendengar dari mas sendiri supaya tidak timbul salah paham, apa pertanyaanmu maria, ini lho mas, kemarin di sekolah aku ketemu Neti dan ngobrol sama Neti tentang mas Heri, yang kata mas dulu tetanggaan di Kalimancur, nah kemarin itu Neti langsung cerita panjang lebar tentang mas, yang katanya Neti itu pacar mas Heri, dan sampai sekarang masih berstatus pacar, ini gimana mas, oh itu to, kata Heri pada Septi, saat itu Septi melihat ada perubahan di wajah Heri, wajahnya memerah dan akhirnya Heri menjelaskan kepada Septi dengan kelembutan sambil mendekatkan duduknya persis disisi Septi, tangan kirinya merangkul pundak Septi dan berkata, Septi yang manis, memang saya penah berpacaran dengan Neti, itu dulu sudah lama sekali dan memang sudah berakhir, nah sekarang aku hanya ingin maria menjadi pacarku seorang, memang banyak teman-teman cewek yang lebih cantik dari maria, seneng sama mas, tapi mas tegaskan bahwa mas hanya cinta dan sayang sama maria seorang, percayalah, kata halus menyanjung menjadikan Septi tak berdaya, rengkuhan tangannya semakin erat dan hangat di pundaknya, mas hanya mencintaimu, percayalah, kemudian Heri mendaratkan ciuman di pipi Septi, Septi tak menolak, bahkan keduanya berpelukan satu sama lain untuk meyatakan kerinduannya, mas sudah mas nanti bapak, ibu melihat kita, sontak Heripun sadar dan melepaskan pelukannya kepada Septi, kemudian lagi ia berkata lembut, percayalah aku sungguh hanya mencintai seorang gadis yang manis, yaitu engkau maria, dan Septipun lega, ada beban tiba-tiba terlepas dari hatinya, ia semakin mantap untuk mencintai Heribertus seorang.
Pukul Sembilan tiga puluh malam, kedua orang tua Septi pulang dari sembahyangan, dan mereka menemui Heri yang masih duduk bersama dengan Septi, hanya tempatnya sudah tidak serapat dan semesra tadi, dengan kepulangan kedua orang tua Septi dari sembahyangan maka akhirnya Heribertus berpamitan kepada Septi dan kedua orang tua Septi, Septi mengantar Heri sampai halaman dan Heripun berkata kepada Septi, sayang, percayalah, maria adalah satu-satunya gadis pujaan yang ada dihatiku kata Heri sebelum menyalakan mesin motor, ya mas sekarang aku percaya, kalau begitu aku pulang, selamat malam, mimipi indah bersamaku dan jangan lupa berdoa, ya mas hati-hati kata Septi lembut dan manja, dan Heripun pulang.
Hati Septi kini semakin mantap dan yakin, bahwa tak ada cewek lain kecuali dirinya di hati Heri, pernyataan Heri dan ciuman pertama baginya merupkan tanda kesungguhan cinta Heri kepada Septi, maka ketika Septi mulai berbaring di tempat tidur, ia tersenyum sendiri karena bahagia dan ia mengelus pipinya yang masih terasa hangat karena ciuman Heribertus sutanto orang yang sekarang menghiasi mimpi-mimpinya.
Senin pagi ketika di sekolah Septi bertemu dengan Neti, setiap ketemu dengan Neti di hatinya muncul rasa cemburu, karena Neti pernah menjadi pacar Heri, apalagi kalau Neti menceriterakan kemesraan yang pernah mereka lakukan semasa pacaran dahulu, hati Septi menjadi panas dan dongkol, maka bentuk pelampiasan yang muncul adalah Septi selalu berkata-kata kasar dan menyakitkan ketika berbicara dengan Neti, Septi, sebenarnya aku salah apa denganmu, kata Neti suatu hari kepada Septi, kenapa sih kalau kamu ngomong sama saya, seakan aku pernah menyakitimu, padahal sebelumnya kamu nggak pernah berbuat demikian kepadaku, ada apa sih, Neti selalu mengatakan hal yang sama ketika Septi selalu menyakitinya lewat kata-kata, bahkan suatu ketika Neti memang bersalah kepada Septi hanya gara-gara dia pinjam buku catatan kepada Septi dan lupa membawanya, saat itu juga Septi marah besar kepada Neti, padahal Neti sudah minta maaf berulang kali tetapi bagi Septi ini merupakan kesempatan untuk melampiaskan kejengkelannya kepada Neti karena Neti pernah menjadi pacar Heribertus yang sekarang menjadi pacar Septi, dia berfikir bagaimanapun masa lalu tidak pernah bisa hilang dari ingatan, itu yang ada di benak Septi saat itu.
Hari minggu, sepulang dari gereja, Septi berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung ke tempat temannya yang di kalimancur, ia beralasan mau ke tempat Neti teman sekolahnya, Septi tidak bilang kepada orang tuanya kalau mau ke tempat Heri kekasihnya, ia mengajak tetangganya seorang cewek, wening namanya, yang kebetulan teman SMA Heribertus, wening juga memiliki pacar yang tinggalnya dekat dengan rumah Heribertus di kalimancur, namanya sapto, dominikus sapto nama lengkapnya, setali tiga uang, pucuk dicinta ulampun tiba, maka keduanya berangkat menggunakan angkutan umum untuk menuju kalimancur.
Pejalanan dengan angkutan umum hanya ditempuh sekitar setengah jam, sambil bertanya sana-sini akhirnya ketemulah rumah Heribertus sutanto, yang kebetulan dekat dengan gereja kalimancur. ketika mereka berdua sampai di rumah Heribertus, Septi dan wening bertemu dengan seorang perempuan setengah baya yang kebetulan sedang menyapu halaman rumah, maaf dik mau cari siapa ya dan adik dari mana, kata perempuan itu kepada Septi dan wening, maaf mbak kami mau tanya, apa benar ini rumahnya mas Heribertus sutanto, oh benar dik, adik ini siapa, tanya perempuan itu, saya maria Septiningrum dan ini AnaStasia wening, kami dari sukaloyo, wening ini teman mas Heri di SMA dan saya teman mas Heri ketika ikut Porseni di sendang amungkas, jelas Septi kepada perempuan itu, oh ya aku Menik kakak kandung Heri , Ayo silakan masuk dan silakan duduk, kata mbak Menik kepada Septi dan wening, mbak, mas Heri ada tanya Septi kepada mbak Menik, oh ada, dia masih mandi, tunggu sebentar, mbak Menik menawari mereka berdua mau minum apa, jawab mereka air putih saja mbak, oh ya saya ambilkan dan sambil saya panggilkan adikku Heribertus.
Tak lama kemudian Heri keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi, ia menyambut Septi kekasihnya dan wening teman sekolahnya di SMA, hai maria apa kabar sayang, aku baik mas dan mas sendiri, aku sehat, maaf semalam aku nggak kerumahmu karena ada acara di tempat tetangga, sambil berjabat tangan, dan ia menyapa wening, hai ning gimana kabarmu, tanya Heri kepada wening, sambil bersalaman, aku baik her, kamu sendiri, aku sehat, oh ya semalam aku ngobrol sama sapto, katanya pagi ini ia mau kesini, berarti pas dong, kata Heri kepada wening, wow kata wening, nggak, kemarin sudah janjian aku mau kesini dan sapto juga mau kesini, sapto adalah teman sekolah wening satu angkatan dan mereka sudah cukup lama berpacaran, sehingga tak heran lagi bagi Heri bahwa mereka sering bersamaan.
Mbak Menik keluar sambil membawa minuman dan kue, setelah tersaji mbak Menik mempersilahkan tamunya untuk minum dan mencicipi kue, ayo dik minumnya, dan kuehnya nggak usah malu-malu anggap rumah sendiri, lebih-lebih untuk dik maria, anggap ini latihan di rumah mertua, kata mbak Menik sambil bergurau untuk mencairkan suasana, dan semua yang ada di situ tertawa mendengar kata mbak Menik, ah mbak Menik ncih cepat tanggap dan ada-ada saja, kata wening, tapi bener mbak supaya Septi terbiasa di rumah ini, hi hi hi kata wening, Septi hanya senyum simpul karena malu.
Sepuluh menit kemudian ada motor masuk ke halaman rumah Heribertus, dan yang datang adalah sapto pacar wening, setelah sapto masuk dan duduk, Heri segera memperkenalkan Septi pacarnya kepada sapto, dan Septipun menyambut tangan sapto, aku sapto dik, dan aku Septi, wah kok namanya hampir sama kalau begitu kita jodoh ya, hus ngawur kamu sap kata Heri dan wening hampir bersamaan lho Septi milikku dan kamu milik wening ngawur kamu, kata Heri dan disambung dengan tertawa bersama, ini bercanda supaya tidak cepat tua, ya to kata sapto.
Mereka berempat akhirnya terlibat obrolan yang menyenangkan, terbukti sebentar-sebentar mereka tertawa bersama, kira-kira pukul satu siang mereka berempat dipanggil mbak Menik untuk makan bersama di ruang belakang, ayo dik semuanya jangan ngobrol terus, perutnya harus diisi, ini mbak sudah masak, yuk kita nikmati bersama, dengan langkah semangat sapto menuju ruang makan, karena ia memang sarapan sedikit ketika mau berangkat ke tempat Heri. Menu makan sederhana, namun karena suasana hati yang gembira menjadikan mereka lahap menyantap makan siang yang disajikan oleh mbak Menik.
Selesai makan, mereka kembali ke ruang tamu, Heri segera mengambil gitar dan mereka bernyanyi lagu-lagu gereja, antara lain lagu alam raya karya bapa, dan lagu-lagu lain yang sangat mengesankan bagi Septi yang memang hoby bernyanyi. Satu jam kemudian mereka sudah bosan, maka Heri mengambil inisaif untuk mengajak Septi jalan-jalan di jalan-jalan gang di kalimancur, kata Heri sebelum mereka jalan-jalan, sapto, nanti kamu sama wening berjalan kearah sana, aku dan maria ke arah sini supaya kita masing-masing dapat berduaan tidak saling mengganggu, ok kata Heri kepada sapto, ok aku setuju, yuk kita laksanakan kata sapto seperti tradisi militer.
Setelah berpamitan sama mbak Menik, mereka jalan-jalan di gang-gang desa kalimancur, mereka bergandengan tangan dan badan Septi sedikit menggelayut di lengan Heri, sungguh mereka sebagai pasangan yang serasi dan nampak bahagia, apalagi selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya Heri bercerita dan selalu menyanjung Septi, wah hati Septi terasa melejit ke angkasa, dan diselimuti perasaan bahagia, bagi Septi rasanya dunia milik mereka berdua, sementara wening dan saptopun melakukan hal yang sama hanya tempat yang berbeda.
Setelah puas berkeliling desa kalimancur mereka kembali ke rumah Heribertus, istirahat beberapa saat, dan hari sudah menjelang sore, Heri dan sapto mengantar Septi dan wening pulang ke sukaloyo, sepanjang perjalanan mereka nampak mesra, Septi memeluk pinggang Heribertus, dengan sedikit kepala direbahkan di punggung Heribertus, sungguh dunia hanya milik mereka berdua.
Heri dan sapto tidak mengantar mereka berdua sampai depan rumah, ini atas permintaan Septi, supaya tidak ketahuan kedua orang tua Septi, karena waktu mereka pamit pada kedua orang tuanya, mereka bilang mau ke tempat Neti temannya, bukan mau ke tempat Heri upaya ini ditempuh supaya kedua orang tuanya tidak melarang mereka bepergian, demi cinta mereka sedikit berbohong.
Sesudah mandi Septi segera membantu ibu di dapur, ia tidak ingin ibunya marah karena hampir seharian ia tidak berada di rumah, saat itu ibu sedang menggoreng tempe untuk persiapan makan sore, maka dengan sigap Septi segera menggantikan ibunya untuk menggoreng tempe. Disela-sela menggoreng tempe, ibu Septi bertanya kepada Septi, Septi, tadi siang makan dimana, ibu nggak berikan uang lebih waktu kamu berangkat ke rumah Neti, oh tadi makan siang di rumah mas Heri bu, jawab Septi, lho kok dirumah Heri, katanya kamu pergi kerumah Neti, kok makan siang di rumah Heri, ini bagaimana, desak ibu Septi, gini bu, justru tadi pertama saya dan wening main ke rumah Neti, nah Neti mangajak saya dan wening main ke rumah mas Heri, dan saat itu jam makan siang, oleh kakaknya mas Heri kami semua diajak makan siang bu begitu, jawab Septi berbohong kepada ibunya, oh begitu to, kata ibu percaya atas penjelasan Septi, walaupun sebenarnya dalam hati Septi ada rasa khawatir karena telah berbohong kepada ibunya, ya tuhan ampuni saya kerena saya membohongi ibu, gumannya.
Sore itu Septi tidak banyak berbicara dengan ibunya, ia lebih senang diam sendirian, karena hatinya sedang berbunga-bunga, ia semakin percaya kepada Heri kekasihnya, maka satu-satunya teman yang mau mengerti kegembiraan hatinya adalah buku harian yang selalu Septi tulis dalam setiap peristiwa yang ia alami.
Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan terus berlalu, cinta Septipun terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan perjalanan waktu, kadang mulus tanpa hambatan,tetapi terkadang muncul riak gelombang yang menuntut mereka untuk berusaha mengatasinya, salah satu masalah yang muncul adalah suatu ketika Neti bercerita kepada Septi bahwa sewaktu mereka pacaran Heri pernah memberikan beberapa benda sebagai tanda cinta Heri kepada Neti waktu itu, rupanya cerita ini menjadikan Septi menjadi cemburu dan marah besar kepada Neti, karena Septi merasa dirinya belum pernah diberi sesuatu oleh Heri selama pacaran, masih banyak hal-hal yang Septi alami sebagai peristiwa suka dan duka selama berpacaran dengan Heribertus sutanto.
Sebuah peristiwa yang tak terlupakan oleh Septi , hari minggu sore Heri mengajak Septi untuk jalan-jalan pakai motor, berkeliling Menikmati pemandangan persawahan dengan padi yang menguning, dengan desiran angin sepoi-sepoi, tangan Septi semakin erat memegang pinggang Heri yang tak dilepaskan selama perjalanan, mereka berhenti dekat jembatan yang memang tempat nongkrong ada muda sebab di tempat itu mereka dapat Menikmati bagaimana indahnya matahari terbenam, Heri dan Septi duduk berdua di atas motor sambil Menikmati indahnya pemandangan, Heri memeluk Septi dari belakang dan Septi menyandarkan kepalanya di bidang dadanya yang atletis, oh sungguh romantic ketika dua remaja yang saling memadu kasih dibawah redupnya mentari di senja itu.
Tanpa terasa setahun sudah Septi dan Heri berpacaran, di saat menjelang ujian akhir Heri menemui Septi dan berkata , yang, aku sebentar lagi ujian akhir, aku ingin agar kita sementara rehat dahulu untuk tidak bertemu, agar aku dapat konsetrasi menghadapi ujian gimana yang pendapatmu, kata Heri dengan mesra kepada Septi, yah bagiku tidak masalah mas, selama mas tetap mencintaiku dan tidak ada cewek lain di hati mas, jawab Septi bijaksana, oh kalau itu percayalah, maria adalah cewek satu-satunya yang ada di hatiku sampai kapanpun, aku ingin ujianku berhasil, setelah lulus aku ingin melanjutkan kuliah di jogya, nah nanti setelah selesai aku mencari pekerjaan, dan setelah bekerja aku akan melamarmu menjadi istriku, bagaimana maria menurutmu, sambung Heri kepada maria Magdalena Septianingrum, oh bagus mas aku setuju, aku akan sabar menunggu mas Heri sampai selesai, dan nanti akupun akan menyusul kuliah ke jogya kalau aku sudah selesai SPG, wah sip juga tuh kata Heri, berarti kita sama-sama mempersiapkan masa depan kita dengan pendidikan kita masing-masing, tetapi janji kita akan kita tepati untuk masa depan kita bersama, baik mas mulai sekarang kita saling berjanji dan saling percaya bahwa kita tak kan terpisahkan, mereka saling mengaitkan jari kelingking sebagai bentuk rasa percaya satu sama lain.
Mulai saat itulah Heri dan Septi jarang bertemu satu sama lain, hanya dengan surat mereka saling mengabarkan keadaan, sampai Heri lulus SMA, dan ketika Heri akan berangkat ke jogyakarta untuk meneruskan kuliah, Heri ke rumah Septi untuk pamit, dengan rasa haru dan tangis yang tertahan, Septi melepaskan sang kekasih untuk menuntut ilmu demi masa depan mereka , pelukan mesra keduanya mengiringi keberangkatan Heribertus sutanto meraih mimpi demi masa depan, lagu chrise sangat syahdu di telinga Septi…… resah…… rintik hujan yang selalu menemani …….sunyinya malam ini sejak dirimu jauh dari pelukan….. selamat jalan kekasih ….. kejarlah cita-cita…..
Satu minggu sudah berlalu, sejak kepergian Heri ke jogyakarta, perasaan Septi terasa sepi, harapan untuk bertemu samakin jauh, karena dalam satu semester Heri baru bisa pulang ke tempat kelahirannya, itupun kalau libur semester, namun perasaan gundah gulana Septi segera terobati dengan datangnya surat Heri untuk Septi, dalam suratnya Heri mengabarkan keadaanya yang sehat, kemudian Heri juga cerita bahwa ia diterima di sebuah perguruan tinggi swata yang cukup terkenal dan mengambil jurusan teknik sipil, dengan tujuan ketika ia selesai menjadi sarjana teknik yang mampu membuat rancangan bangunan dan dan siap membangun mahligai kehidupan bersama Septi, betapa senangnya Septi membaca surat Heri yang ia terima, disamping itu Heri berpesan kepada Septi untuk rajin belajar dan selalu setia menantinya demi masa depan mereka berdua.
Bagi Septi, surat Heri adalah sesuatu yang sangat dinantikannya setiap saaat, ia ingin selalu mengetahui perkembangan dan keadaan Heri selama kuliah di jogyakarta, maka ketika surat-surat dari Heri datang, Septi segera membalasnya, agar Heri merasa lega karena mengetahui juga keadaan Septi selama di lampung, dalam suratnya Septi selalu mengingatkan kepada Heri agar selalu belajar dan selalu ingat akan janji yang pernah Heri katakan kepada Septi, bahwa Septi adalah satu-satunya gadis yang dia cintai dan ada di hatinya.
Hari demi hari berlalu sudah, Septi semakin menyadari bahwa kekasihnya nun jauh di sana,ia mulai memutar kenangan-kenangan lama yang pernah ia alami bersama Heri, mulai dari pertistiwa perjumpaannya di Porseni, dukungan Heri kepada Septi ketika Septi lomba cerdas cermat kitab suci, ucapan selamat ketika Septi memenangkan lomba, ketika Heri pertama kali mengapelinya, kata-kata lembut di telinganya ketika ia menjelaskan bahwa tak ada gadis lain selain dirinya, ciuman hangat di pipinya untuk pertama kalinya, gandheng tangan sepanjang jalan di gang-gang kali mancur, lagu-lagu romantis yang selalu Heri nyannyikan ketika Septi bersamanya, bahwa Septi adalah kekasih yang selalu ia nantikan seperti lagunya iwan fals, lagu-lagu rohani yang selalu terngiang di telinganya, alam raya karya bapa, lagu kemesraan yang mengingatkannya ketika mereka berdua Menikmati indahnya matahari terbenam di persawahan, pelukan mesra di pinggang Septi yang hangat …… ah betapa indahnya semuanya itu, kalau ingat semua peristiwa yang ia alami kerinduannya semakin menggelora di hatinya, hanya suratlah yang mampu membantu kegalauannya.
Hampir setiap minggu Septi menerima surat dari Heri, ketika Heri awal-awal tinggal di jogya, kini setelah empat bulan, surat Heri semakin jarang diterima, Septi memaklumi sebab sebagai mahasiswa tentunya banyak sekali kegiatan yang menyita waktu dan pikirannya, maka Septi tidak terlalu berpikir yang aneh-aneh tentang kekasihnya, ditambah lagi sekarang Septi sudah memasuki tahun terakhir di SPG yang penuh dengan kegiatan yang menjadikan dia sedikit lupa akan Heri kekasihnya yang tinggal di jogyakarta, cinta berkembang karena dibangun setiap saat dengan sering berjumpa secara nyata, saling percaya, saling mengisi dan saling komitmen, namun Septi menyadari sesering apapun Heri mengirim surat kepadanya tidak akan seintensif kalau selalu berjumpa secara nyata. Godaan bisa datang dari mana saja, dari siapa saja, kapan saja dan bagi siapa saja , walau kepercayaan yang telah dibangun dengan komitmen yang sangat tinggi akan luntur dengan berjalannya waktu karena intensitas pertemuan mereka sangat sedikit bahkan tidak pernah bertemu.
Perasaaan rindu yang dialami Septi sangat wajar dan dapat dialami oleh siapa saja tanpa memandang cowok ataupun cewek, ini masalah rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing orang, penantian demi penantian dirasakan oleh Septi, surat yang ditunggunya kadang tak kunjung datang, sering Septi justru yang berkirim surat kepada Heri untuk mengabarkan keadaannya, dan menanyakan kabar Heri selama di jogya, harapannya, Septi mendapat balasan surat dari Heri, tetapi harapan itu kadang-kadang pupus karena surat yang ditunggunya tak juga datang, dalam hatinya sangat kecewa atas perlakuan Heri, sebenarnya Septi hanya butuh kabar darinyac sebagai pengobat rindu, namun rindu tetap rindu yang semakin membeku.
Awal kelas tiga Septi semakin disibukkan oleh kegiatan sekolahnya, dengan kesibukan ini Septi dapat melupakan rasa rindunya dengan kekasih, apalagi tugas yang dipikulnya juga semakin banyak, justru bagi Septi merupakan kesempatan untuk tidak terlalu berpikir tentang kakasihnya yang semakin jauh, dan semua rasa dibiarkannya berlalu dari hatinya sejalan berlalunya waktu, ia sadar, apa yang ia alami bersama Heri saat ini seperti sebuah kisah perjalanan dalam bis, dekat dan terus bertumbuh karena saling berdampingan, setelah sampai ke tujuan masing-masing seakan yang terjadi seperti kejadian biasa dan cepat terlupakan, memang Septi tidak patah hati, karena sampai saat ini Heri ataupun dirinya tidak pernah menyatakan hubungan cinta mereka berakhir, keduanya membiarkannya berjalan sesuai perjalanan waktu, memang sesekali Septi masih mendapat surat dari Heri tetapi rasa yang muncul dalam hati Septi tidak sesemangat awal-awal Heri kuliah di jogya, musim berganti musim, berjalan secara natural, apa adanya dalam kerinduan yang semakin pudar, seperti warna yang selalu terterpa sinar matahari, pudar semakin nanar dan sirna, setidaknya apa yang pernah ia alami bersama Heri merupakan kenangan manis yang tak pernah hilang dari hatinya, tumbuh berkembang dan hilang seperti usainya pertandingan dan perlombaan dalam Porseni.
Sukoharjo, September 2013